Selasa, 03 Juli 2012

TEORI BELAJAR

Teori Belajar Behaviorisme
Behaviorisme merupakan salah satu pendekatan untuk memahami perilaku individu. Behaviorisme memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek-aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu.

Beberapa hukum belajar yang dihasilkan dari pendekatan behaviorisme ini, diantaranya :
1.        Connectionism (S-R Bond) menurut Thorndike.
Dari eksperimen yang dilakukan Thorndike terhadap kucing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya:
a.        Law of Effect; artinya bahwa jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan, maka hubungan Stimulus-Respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang dicapai respons, maka semakin lemah pula hubungan yang terjadi antara Stimulus-Respons.
b.        Law of Readiness; artinya bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal dari pemdayagunaan satuan pengantar (conduction unit), dimana unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
c.        Law of Exercise; artinya bahwa hubungan antara Stimulus dengan Respons akan semakin bertambah erat, jika sering dilatih dan akan semakin berkurang apabila jarang atau tidak dilatih.

2.        Classical Conditioning menurut Ivan Pavlov
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
a.        Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
b.        Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.
 
3.        Operant Conditioning menurut B.F. Skinner
Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
a.        Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
b.        Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.
Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.

4.        Social Learning menurut Albert Bandura
Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning adalah sebuah teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan penganut Behaviorisme lainnya, Bandura memandang Perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment, seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan.
Sebetulnya masih banyak tokoh-tokoh lain yang mengembangkan teori belajar behavioristik ini, seperti : Watson yang menghasilkan prinsip kekerapan dan prinsip kebaruan, Guthrie dengan teorinya yang disebut Contiguity Theory yang menghasilkan Metode Ambang (the treshold method), metode meletihkan (The Fatigue Method) dan Metode rangsangan tak serasi (The Incompatible Response Method), Miller dan Dollard dengan teori pengurangan dorongan.

Teori Belajar Kognitif menurut Piaget
Aspek-aspek perkembangan kognitif menurut Piaget yaitu tahap 
1)       sensory motor; 
2)       pre operational; 
3)       concrete operational dan 
4)       formal operational. Menurut Piaget, 
Bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.
Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :
a.        Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
b.        Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
c.        Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
d.        Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
e.        Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.

Teori Pemrosesan Informasi dari Robert Gagne
Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran.
Menurut Gagne tahapan proses pembelajaran meliputi delapan fase yaitu, (1) motivasi; (2) pemahaman; (3) pemerolehan; (4) penyimpanan; (5) ingatan kembali; (6) generalisasi; (7) perlakuan dan (8) umpan balik.

Teori Belajar Gestalt
Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang mempunyai padanan arti sebagai “bentuk atau konfigurasi”. Pokok pandangan Gestalt adalah bahwa obyek atau peristiwa tertentu akan dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan. 
Menurut Koffka dan Kohler, ada tujuh prinsip organisasi yang terpenting yaitu :
a.        Hubungan bentuk dan latar (figure and gound relationship); yaitu menganggap bahwa setiap bidang pengamatan dapat dibagi dua yaitu figure (bentuk) dan latar belakang. Penampilan suatu obyek seperti ukuran, potongan, warna dan sebagainya membedakan figure dari latar belakang. Bila figure dan latar bersifat samar-samar, maka akan terjadi kekaburan penafsiran antara latar dan figure.
b.        Kedekatan (proxmity); bahwa unsur-unsur yang saling berdekatan (baik waktu maupun ruang) dalam bidang pengamatan akan dipandang sebagai satu bentuk tertentu.
c.        Kesamaan (similarity); bahwa sesuatu yang memiliki kesamaan cenderung akan dipandang sebagai suatu obyek yang saling memiliki.
d.        Arah bersama (common direction); bahwa unsur-unsur bidang pengamatan yang berada dalam arah yang sama cenderung akan dipersepsi sebagi suatu figure atau bentuk tertentu.
e.        Kesederhanaan (simplicity); bahwa orang cenderung menata bidang pengamatannya bentuk yang sederhana, penampilan reguler dan cenderung membentuk keseluruhan yang baik berdasarkan susunan simetris dan keteraturan; dan
f.         Ketertutupan (closure) bahwa orang cenderung akan mengisi kekosongan suatu pola obyek atau pengamatan yang tidak lengkap.

Terdapat empat asumsi yang mendasari pandangan Gestalt, yaitu:
a.        Perilaku “Molar“ hendaknya banyak dipelajari dibandingkan dengan perilaku “Molecular”. Perilaku “Molecular” adalah perilaku dalam bentuk kontraksi otot atau keluarnya kelenjar, sedangkan perilaku “Molar” adalah perilaku dalam keterkaitan dengan lingkungan luar. Berlari, berjalan, mengikuti kuliah, bermain sepakbola adalah beberapa perilaku “Molar”. Perilaku “Molar” lebih mempunyai makna dibanding dengan perilaku “Molecular”.
b.        Hal yang penting dalam mempelajari perilaku ialah membedakan antara lingkungan geografis dengan lingkungan behavioral. Lingkungan geografis adalah lingkungan yang sebenarnya ada, sedangkan lingkungan behavioral merujuk pada sesuatu yang nampak. Misalnya, gunung yang nampak dari jauh seolah-olah sesuatu yang indah. (lingkungan behavioral), padahal kenyataannya merupakan suatu lingkungan yang penuh dengan hutan yang lebat (lingkungan geografis).
c.        Organisme tidak mereaksi terhadap rangsangan lokal atau unsur atau suatu bagian peristiwa, akan tetapi mereaksi terhadap keseluruhan obyek atau peristiwa. Misalnya, adanya penamaan kumpulan bintang, seperti : sagitarius, virgo, pisces, gemini dan sebagainya adalah contoh dari prinsip ini. Contoh lain, gumpalan awan tampak seperti gunung atau binatang tertentu.
d.        Pemberian makna terhadap suatu rangsangan sensoris adalah merupakan suatu proses yang dinamis dan bukan sebagai suatu reaksi yang statis. Proses pengamatan merupakan suatu proses yang dinamis dalam memberikan tafsiran terhadap rangsangan yang diterima.

Aplikasi teori Gestalt dalam proses pembelajaran antara lain :
a.        Pengalaman tilikan (insight); bahwa tilikan memegang peranan yang penting dalam perilaku. Dalam proses pembelajaran, hendaknya peserta didik memiliki kemampuan tilikan yaitu kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam suatu obyek atau peristiwa.
b.        Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning); kebermaknaan unsur-unsur yang terkait akan menunjang pembentukan tilikan dalam proses pembelajaran. Makin jelas makna hubungan suatu unsur akan makin efektif sesuatu yang dipelajari. Hal ini sangat penting dalam kegiatan pemecahan masalah, khususnya dalam identifikasi masalah dan pengembangan alternatif pemecahannya. Hal-hal yang dipelajari peserta didik hendaknya memiliki makna yang jelas dan logis dengan proses kehidupannya.
c.        Perilaku bertujuan (pusposive behavior); bahwa perilaku terarah pada tujuan. Perilaku bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya dengan dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses pembelajaran akan berjalan efektif jika peserta didik mengenal tujuan yang ingin dicapainya. Oleh karena itu, guru hendaknya menyadari tujuan sebagai arah aktivitas pengajaran dan membantu peserta didik dalam memahami tujuannya.
d.        Prinsip ruang hidup (life space); bahwa perilaku individu memiliki keterkaitan dengan lingkungan dimana ia berada. Oleh karena itu, materi yang diajarkan hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan kehidupan peserta didik.
e.        Transfer dalam Belajar; yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi pembelajaran tertentu ke situasi lain. Menurut pandangan Gestalt, transfer belajar terjadi dengan jalan melepaskan pengertian obyek dari suatu konfigurasi dalam situasi tertentu untuk kemudian menempatkan dalam situasi konfigurasi lain dalam tata-susunan yang tepat. Judd menekankan pentingnya penangkapan prinsip-prinsip pokok yang luas dalam pembelajaran dan kemudian menyusun ketentuan-ketentuan umum (generalisasi). Transfer belajar akan terjadi apabila peserta didik telah menangkap prinsip-prinsip pokok dari suatu persoalan dan menemukan generalisasi untuk kemudian digunakan dalam memecahkan masalah dalam situasi lain. Oleh karena itu, guru hendaknya dapat membantu peserta didik untuk menguasai prinsip-prinsip pokok dari materi yang diajarkannya.

HAKIKAT PEMBELAJARAN IPA SD
Ilmu pengetahuan alam atau sains (science) diambil dari kata latin Scientia yang arti harfiahnya adalah pengetahuan, tetapi kemudian berkembang menjadi khusus Ilmu Pengetahuan Alam atau Sains. IPA/ Sains sebagai proses merupakan langkah-langkah yang ditempuh para ilmuwan untuk melakukan penyelidikan dalam rangka mencari penjelasan tentang gejala-gejala alam. IPA (Sains) berupaya membangkitkan minat manusia agar mau meningkatkan kecerdasan dan pemahamannya tentang alam seisinya yang penuh dengan rahasia yang tak habis-habisnya.
Setidaknya ada lima cakupan yang harus dipelajari dalam pelajaran IPA di sekolah dasar. Keempat cakupan tersebut adalah:
1.        Konsep IPA terpadu
2.        Biologi
3.        Fisika
4.        Ilmu bumi dan antariksa
5.        IPA dalam perspektif interdisipliner 
Sampai saat ini, konten sains bagi kebanyakan guru diberikan melalui metode ceramah dan kegiatan pembuktian di laboratorium, dengan sedikit fokus terhadap pemberian pengalaman dalam melakukan penelitian atau aplikasi IPA dalam konteks teknologi. Peran guru di sini adalah melibatkan siswa dalam memanipulasi kegiatan yang mengarahkan pada pengembangan konsep melalui kegiatan investigasi dan analisis terhadap pengalaman.
Di bawah ini adalah karakteristik  pembelajaran IPA yang baik adalah guru diharapkan bisa:
1.        Memahami dan merespon minat, kekuatan, pengalaman dan keperluan siswa secara individual.
2.        Senantiasa menyeleksi dan mengadaptasi kurikulum.
3.        Berfokus pada pemahaman siswa dan menggunakan pengetahuan sains, ide serta proses inkuiri.
4.        Membimbing siswa dalam mengembangan saintifik inkuiri.
5.        Menyediakan kesempatan bagi siswa untuk berdiskusi dan berdebat dengan siswa lain.
6.        Secara berkesinambungan melakukan asesmen terhadap pemahaman siswa.
7.        Memberikan bimbingan pada siswa untuk berbagai tanggung jawab dengan siswa lain.
8.        Mensuport pembelajaran kooperatif (cooperative learning), mendorong siswa untuk bekerjasama dengan guru sains lain dalam mengembangkan proses inkuiri.

PENDEKATAN TEORI-TEORI BELAJAR DALAM PEMBELAJARAN IPA SD
Berdasarkan uraian-uraian penjelasan yang terdapat dalam hakikat pembelajaran IPA, diperlukan teori belajar yang sesuai dengan karaketristik pembelajaran IPA. Teori belajar tersebut antara lain

A.     Teori Bruner
Bruner mengemukakan bahwa perkembangan intelektual anak mengikuti 3 tahap representasi yang berurutan, yaitu:
·     Enactive representation, segala pengertian anak tergantung kepada responnya;
·     Iconic representation, pola berfikir anak tergantung kepada organisasi visual (benda-benda yang konkrit) dan organisasi sensorisnya; dan
·     Simbolic reprentation, anak telah memiliki pengertian yang utuh tentang sesuatu hal, pada priode ini anak telah mampu mengutarakan pendapatnya dengan bahasa.
Bruner memandang manusia sebagai pemproses, pemikir, dan pencipta informasi. Menurut Bruner, inti belajar adalah cara-cara bagaimana manusia memilih, mempertahankan, mentransformasikan informasi secara aktif. Masih menurut Bruner, di dalam orang yang belajar, hal-hal yang memiliki kesamaan atau kemiripan dihubungkan menjadi struktur yang memberikan arti pada hal-hal yang dipelajari. Sebagaimana Piaget dalam pendidikan, Bruner juga menyarankan pendekatan child centered approach yang dihubungakan dengan belajar penemuan (discovery learning).
Implikasi Teori Bruner dalam proses pembelajaran IPA adalah :
a)      Menghadapkan anak pada suatu situasi yang membingungkan atau suatu masalah.
      Misal: Dalam pembelajaan materi bunyi, siswa dihadapkan dengan masalah apakah bunyi dapat merambat melalui benda padat.
b)      Dari masalah yang timbul anak akan berusaha membandingkan realita di luar dirinya dengan model mental yang telah dimilikinya.
      Misal: Anak akan mencoba melakukan percobaan sendiri.
c)      Dengan pengalamannya anak akan mencoba menyesuaikan atau mengorganisasikan kembali struktur-struktur idenya dalam rangka untuk mencapai keseimbangan di dadalam benaknya. Untuk itu siswa akan mencoba melakukan sintesis, analisis, menemukan informasi baru dan menyingkirkan informasi yang tak perlu. 

B.     Teori Konstruktivisme
Ide utama teori ini adalah:
·     Siswa secara aktif membangun pengetahuannya sendiri.
·     Agar benar-benar dapat memahami  dan dapat menerapkan pengetahuan siswa harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya sendiri;
·     Belajar adalah proses  membangun pengetahuan bukan penyerapan atau absorbsi;
·     Belajar adalah proses membangun pengetahuan yang selalu  diubah secara berkelanjutan melalui asimilasi dan akomodasi informasi baru.
Implikasi teori konstruktivisdalam proses pembelajaran, khususnya IPA adalah :
1)       Memusatkan perhatian kepada berfikir atau proses mental anak, tidak sekedar hasilnya saja.
2)       Mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif sendiri, keterlibatan aktif dalam kegiatan pembelajaran
3)       Menekankan pembelajaran top-down mulai dari yang komplek ke sederhana, dari pada bottom-up dari yang sederhana bertahap berkembang ke komplek.
4)       Menerapkan pembelajaran koperatif.
  
C.     Teori Piaget
Prinsip teori Piaget adalah:
·         Manusia tumbuh beradaptasi, dan berubah melalui perkembangan fisik, kepribadian, sosioemosional, kognitif, dan bahasa;
·         Pengetahuan datang melalui tindakan;
·         Perkembangan kognitif sebagian besar tergantung seberapa jauh anak aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungan.
Konsep-konsep dasar proses organisasi dan adaptasi intelektual menurut Piaget, yaitu :
1.        Skemata, dipandang sebagai sekumpulan konsep;
2.        Asimilasi, peristiwa mencocokkan informasi baru dengan informasi lama yang sudah dimiliki oleh seseorang;
3.        Akomodasi merupakan anak untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan, terjadi apabila antara informasi baru dan lama yang semula tidak cocok kemudian dibandingkan dan disesuaikan dengan informasi lama; dan
Dalam hal ini lingkungan menuntut anak untuk melakukan sesuatu. Anak harus mengubah dirinya untuk melakukan hal itu, sebagai contoh, jika seorang anak menemukan sebuah benda yang menghalangi jalan bagi mainannya (mobil-mobilan misalnya), anak tersebut menemukan penyelesaian yang membuat dirinya dapat memudahkan benda yang menghalangi itu dan mainannya dapat berjalan lagi.
Implikasi teori Piaget dalam Proses Pembelajaran IPA, yaitu :
1)    Memusatkan perhatian kepada berfikir atau proses mental anak, tidak sekedar kepada hasilnya tetapi juga prosesnya.
2)    Mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif sendiri, keterlibatan aktif dalam pembelajaran, penyajian pengetahuan jadi tidak mendapat tekanan.
3)    Memaklumi adanya perbedaan individual, maka kegiatan pembelajaran diatur dalam bentuk kelompok kecil.
4)    Peran guru sebagai seorang yang mempersiapkan lingkungan yang memungkinkan siswa dapat memperoleh pengalaman yang luas. 

D.   Teori Robert Gagne
Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran.
Gagne beranggapan bahwa hirarki belajar itu ada, sehingga penting bagi guru untuk menentukan urutan materi belajar yang harus diberikan. Materi-materi yang berfungsi prasyarat harus diberikan terlebih dahulu. Keberhasilan siswa belajar kemampuan yang lebih tinggi, ditentukan oleh apakah siswa itu memiliki kemampuan belajar yang lebih rendah atau tidak. Menurut Gagne ada 8 tipe belajar, yaitu:
·     belajar isyarat,
·     belajar stimulus respon,
·     belajar merangkaikan,
·     belajar asoisasi verbal,
·     belajar diskriminasi,
·     belajar konsep,
·     belajar prinsip, dan
·     belajar pemecahan masalah
Kemampuan manusia sebagai tujuan belajar menurut Gagne dibedakan menjadi 5 kategori, yaitu :
a)       Keterampilan intelektual;
b)       Informasi verbal;
c)        Strategi kognitif;
d)       Keterampilan motorik; dan
e)       Sikap
Implikasi teori Gagne di dalam proses pembelajaran IPA:
Untuk mencapai hasil belajar yang demikian maka proses belajar mengajar harus memperhatikan kejadian instruksional yang meliputi:
Menarik perhatian, misalnya dalam materi penggolongan hewan, disertai dengan gambar-gambar binatang yag menarik dan cukup besar.
1.        Menjelaskan tujuan.
2.        Mengingat kembali apa yang telah dipelajari,
3.        Memberikan materi pelajaran,
4.        Memberi bimbingan belajar,
5.        Memberi kesempatan, misalnya: membiarkan siswa untuk menyimpulkan hasil percobaan.
6.        Memberi umpan balik tentang benar tidaknya tindakan yang dilakukan.
Misalnya: dalam percobaan uji protein, apakah benar untuk menguji kandungan protein pada makanan menggunakan larutan lugol.

DAFTAR PUSTAKA


Minggu, 21 September 2008

Analisis Anak Autisme

Pengertian
Autisme adalah suatu gangguan yang menyangkut banyak aspek perkembangan yang bila dikelompokkan akan menyangkut tiga aspek yaitu perkembangan fungsi bahasa, aspek fungsi sosial, dan perilaku repetitif.
Autisme adalah gangguan atau kecacatan yang akan disandang oleh individu tersebut seumur hidupnya.
Penyebab autisme
Sampai saat ini menurut JK Buitelaar, seorang professor psikiatri anak dari Universitas Nijmegen Negeri Belanda, Penyebab autisme masih belum bisa diketahui. Namun, banyak sekali publikasi di masyarakat yang justru datang dari pihak-pihak yang tidak didasarkan oleh penelitian ilmiah, Misalnya penyebab autisme karena thimerosal dalam vaksin, virus vaksin, keracunan logam berat, alergi terutama gluten dan kasein, sistem imun tubuh, dan sebagainya.
Sementara itu para ilmuwan yang berkecimpung dalam bidang autisme menyatakan bahwa kemungkinan besar penyebab autisme adalah faktor kecenderungan yang dibawa oleh genetik. Sekalipun begitu sampai saat ini kromosom mana yang membawa sifat autisme belum dapat diketahui. Sebab pada anak-anak yang mempunyai kondisi kromosom yang sama akan bisa juga memberikan gambaran gangguan yang berbeda.
Namun para ahli lebih cenderung akan menyatakan bahwa penyebab autisme kemungkinan besar adalah faktor gen yang membawa peranan, hal ini disimpulkan dari hasil penelitian terhadap kembar satu telur yang akan menunjukkan kemungkinan terjadinya gangguan autisme yang lebih tinggi secara signifikan bila dibandingkan dengan kembar dua telur.
Di kalangan luas juga ada publikasi yang mengatakan bahwa autisme dapat disebabkan berbagai gangguan di tiga bulan pertama kehamilan. Menurut Buitelaar hal ini juga masih belum bisa dikatakan apakah benar demikian, karena penelitiannya belum selesai,dan hasilnya belum ada.
Diagnosa dan Penanganan
Karena gambaran autisme begitu beragam dan setiap saat seorang anak akan senantiasa mengalami perkembangan, maka penegakan diagnosa tidak bisa begitu saja, sebab bisa saja kemudian diagnosa menjadi berubah-ubah dari waktu ke waktu. Untuk menghindari kekeliruan deteksi ini, maka diperlukan sekali pemeriksaan secara multidisiplin yaitu dilakukan oleh dokter, psikolog, orthopedagog, neurologis, ahli penyakit anak, ahli terapi bahasa, ahli pengajar dan ahli profesional lainnya dibidang autisme.
Setelah dilakukan berbagai observasi secara berkala oleh berbagai profesi tadi, disamping juga dilakukan tes psikologi, dan pemeriksaan fisik secara menyeluruh barulah diagnosa itu boleh ditegakkan. Penegakan diagnosa ini seringkali juga memerlukan waktu yang panjang, enam bulan hingga satu tahun. Namun yang terpenting adalah bukan penegakan diagnosa itu tetapi bagaimana kita mampu melihat berbagai gangguan sebagai faktor lemah yang dimilikinya, dan faktor kuatnya.
Dokter dan psikolog harus benar-benar mampu mengamati dengan baik. Orang tua diminta untuk dapat mengungkapkan dengan baik bagaimana perilaku anaknya tersebut dengan berpatokan pada gejala-gejala yang ditampilkan oleh anak-anak normal, sehingga dapat diketahui bagaimana penyimpangan yang terjadi. Setidaknya perlu adanya pengamatan berkala setiap tiga bulan, dilakukan evaluasi guna menentukan tindakan apa yang perlu kita perbaharui.
Diagnosa yang paling tepat adalah dengan cara seksama mengamati perlilaku anak dalam berkomunikasi, bertingkah laku dan tingkat perkembangannya.
Pengobatan
Pertanyaan tentang berbagai pengobatan autisme saat ini yang banyak digunakan bahkan seringkali juga atas anjuran dokter (yang bergerak dalam terapi alternatif), misalnya detoksifikasi untuk menghilangkan racun di otak, diet bebas gluten dan casein, probiotik, megadosis vitamin, hormon, dan sebagainya. Buitelaar menanggapi bahwa karena hingga kini penyebab autisme belum bisa dipahami secara pasti maka para dokter juga belum bisa menentukan obatnya.
Ia menyarankan agar para orang tua tak perlu terkesima dengan reklame komersial yang menyatakan bahwa autisme dapat diobati, sebab menurutnya selain pengobatan model intervensi biologis itu sangat mahal, tidak ada efeknya, juga cukup berbahaya bagi si anak sendiri. Bila dokter memberikan resep obat-obatan psikostimulan, hal itu bukan untuk menyembuhkan autisme, tetapi hanya sekedar untuk mengendalikan emosi dan perilakunya.
Yang terpenting adalah bagaimana kita harus menanganinya dengan cara melihat faktor lemah dan faktor kuatnya dengan pendekatan psikologi dan pedagogi, yaitu arahkan perilakunya, tingkatkan kecerdasannya, latih kemandirian, ajarkan kerjasama, dan ajarkan bersosisalisasi dan jangan berikan obat-obatan psikiatrik atau psikostimulan kepada anak-anak di bawah 6 tahun. Utamakan pendekatan psikologi dan pedagogi, jika cara-cara ini sudah tidak dimungkinkan barulah bisa diberikan obat- obatan. Para orang tua juga berhak menanyakan apa efek samping dan harapan apa yang bisa dicapai dengan menggunakan psikostimulan itu.Karena bagaimanapun reaksi setiap anak terhadap obat akan berbeda-beda, sehingga diperlukan pemantauan yang baik secara rutin. Di samping itu sampai saat ini belum ada penelitian obat- obatan pada anak di bawah usia 6 tahun, sehingga kita masih belum tahu efek jangka panjangnya.
Ciri-ciri
Pada anak-anak autisme selain ia mengalami gangguan komunikasi secara verbal, ia juga mengalami gangguan komunikasi nonverbal.
Komunikasi nonverbal adalah suatu komunikasi tanpa menggunakan kata-kata. Komunikasi nonverbal adalah bentuk komunikasi dengan cara membaca bahasa simbolik dan bahasa mimik. Pada anak autisme yang mengalami kegagalan perkembangan membangun kontak emosi tadi, dengan sendirinya juga ia mengalami kegagalan membaca bahasa mimik, karena bahasa mimik pada dasarnya adalah komunikasi dengan cara membaca emosi orang lain. Ketidakmampuan membaca emosi orang lain dalam bentuk ekspresi muka orang lain inilah yang kemudian menyebabkan anak-anak ini juga tidak mampu mengekspresikan wajahnya. Ia adalah anak yang tidak berekspresi, tidak mampu menunjukkan kehangatan, rasa senang atau marah.
Selain ia tak mampu mengutarakan emosinya ia juga kadang mengalami kesalahan dalam mengekspresikan perasaannya, atau ekspresinya tidak pada tempatnya. Padahal komunikasi nonverbal ini merupakan bentuk komukasi yang lebih banyak digunakan oleh kita sehari-hari, dalam membangun hubungan dengan orang lain. Dengan kata lain, sebagian besar komunikasi adalah berbentuk komunikasi non verbal. Dengan sendirinya kegagalan komunikasi nonverbal ini akan pula menyebabkan ia mengalami gangguan bersosialisasi, atau membangun hubungan sosial dengan orang-orang di sekitarnya.
Pada sebuah tes dengan anak autis yang lebih besar, di atas lima tahun, seringkali ia juga mengalami kegagalan membaca jalan pikiran orang, dan merasakan perasaan orang lain. Ia hanya mampu memakna kejadian-kejadian secara harafiah. Ia juga mengalami kegagalan dalam pengembangan bentuk fantasi dan imajinasi. Sehingga segalanya menjadi kaku atau rigid dan tidak fleksibel.
Pada anak-anak autisme ini juga mengalami kegagalan dalam melakukan memakna hubungan kejadian yang satu dengan yang lainnya. Jadi seringkali ia mampu mengumpulkan banyak informasi secara detil tetapi tidak mengerti apa fungsi setiap detilnya, dan konteksnya secara global. Karena kegagalan berbagai perkembangan dalam melakukan kontak dengan orang lain ini, ia juga akan bereaksi berbeda dari pada anak-anak normal lainnya.
Anak-anak ini juga sangat sulit menerima perubahan, sangat rigid, dengan ritual-ritual yang sulit dirubah. Kepada anak-anak ini perlu diajarkan bagaimana berperilaku fleksibel.
Kemampuan dan perilaku dibawah ini adalah beberapa kelainan yang disebabkan oleh autisme.
Komunikasi: Kemampuan berbahasa mengalami keterlambatan atau sama sekali tidak dapat berbicara. Menggunakan kata kata tanpa menghubungkannya dengan arti yang lazim digunakan. Berkomunikasi dengan menggunakan bahasa tubuh dan hanya dapat berkomunikasi dalam waktu singkat. Bersosialisasi (berteman)Lebih banyak menghabiskan waktunya sendiri daripada dengan orang lain. Tidak tertarik untuk berteman. Tidak bereaksi terhadap isyarat isyarat dalam bersosialisasi atau berteman seperti misalnya tidak menatap mata lawan bicaranya atau tersenyum. Kelainan penginderaan Sensitif terhadap cahaya, pendengaran, sentuhan, penciuman dan rasa (lidah) dari mulai ringan sampai berat. Bermain Tidak spontan / reflek dan tidak dapat berimajinasi dalam bermain. Tidak dapat meniru tindakan temannya dan tidak dapat memulai permainan yang bersifat pura pura. Perilaku Dapat menjadi sangat hiperaktif atau sangat pasif (pendiam). Marah tanpa alasan yang masuk akal. Amat sangat menaruh perhatian pada satu benda, ide, aktifitas ataupun orang. Tidak dapat menunjukkan akal sehatnya. Dapat sangat agresif ke orang lain atau dirinya sendiri. S

Di kaji dari berbagai sumber
Mata Kuliah Anak Berkebutuhan Khusus